Oct 9, 2016

Reka Ulang Pagi Itu untuk Akshaya

Ini hanya cerita, jangan terlalu dibawa serius, jangan juga dihubungkan dengan kenyataan, nanti kalian kecewa. Gunakan imajinasi dan perspektif kalian ya. Baca aja, nikmati. Dijadikan pengantar tidur juga boleh berhubung besok hari senin, siapa tau bisa tidur lebih cepat. Jangan teralu dipikirkan, namanya juga cuma cerita.
Baiklah kita mulai ya, eh tapi tunggu. Kalau cerita tidak memiliki tokoh lantas apa yang mau dijadikan cerita? Sebentar, saya cari dulu tokohnya. Wah kebetulan malam ini tugas perencanaan analisis menanti, gimana? Lanjutkan menunggu email teman sekelompok dan tetap menulis atau makan saja? Rasanya perut ini minta asupan kalori. Hihi maafkan, saya ngelantur. Baiklah mari kita lanjutkan! Bentar ya saya mikir dulu tokohnya siapa. Bukan, ini bukan Dilan dan Milea tahun 1990 kok, bukan juga cerita romantis. Ini hanya sekedar cerita yang terlintas. Jadi, jangan berharap jawaban-jawaban romantis dari tiap percakapan bahkan dari tiap hal yang dilakukan, ok? Apalagi, jangan membayangkan ini nyata, gimana? Kalau ini kenyataan, pasti jadi sedih, jangan sedih-sedih ya kalian!  Semoga pembaca tidak kecewa! Selamat membaca!




Kala itu, pagi hari di bumi bagian timur, baratnya Indonesia, dan masih di sebuah pulau yang konon adalah salah satu pulau dengan penduduk terbanyak di negara khatulistiwa itu.
Falguni Akshaya Pratibha, menyusuri jalan setapak yang tidak datar, menghirup aroma tanah yang khas, ditemani embun pagi yang akan segera menghilang.
Menikmati segala ciptaan Tuhan yang ada disekelilingnya, dan menikmati kesendiriannya.
Akshaya, biasa ia disapa, melihat beberapa anak laki-laki yang sedang bermain di tepi jalan . Akshaya menyapa mereka, bertanya tentang hal-hal sekitarnya.
Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana Akshaya, dan otak Akshaya pun memerintahkan kakinya untuk berjalan kembali menyusuri jalan itu.
Ini pertama kali untuknya bisa sedekat ini dengan sang legedaris, menjulang tinggi, seolah dekat untuk dicapai, namun nyatanya? Tidak semudah itu.
Akshaya tidak gampang menyerah, namun akalnya masih bekerja dan tidak membiarkannya mengikuti perintah khayalan gilanya itu. Akhirnya dia berhenti.
Ia kembali melihat para anak lelaki yang tadi ditemuinya, mereka mengikuti Akshaya namun tetap berjalan saat Akshaya berhenti.
Akshaya memutuskan untuk kembali setelah mencoba pergi, ia merasa cukup memandangi langit dan segala isi bumi yang dapat dijangkaunya.

Devendra Anggasta Chandany, bediri di tepi jalan ketika Akshaya menyusuri jalan itu dan menikmati dunianya. Anggasta, biasa ia disapa, hanya mematung, melihat Akshaya pergi.
Entah karena ia membiarkannya atau karena ia tahu Akshaya akan kembali.
Namun tak lama, Anggasta menggunakan peluangnya dan menyusuri jalan yang telah lebih dulu dilewati Akshaya.
Entah karena ingin mencari garis takdir yang telah diatur, atau hanya sekedar ingin tahu seperti apa disana ,jalan yang lebih dulu Akshaya tempuh.
Ruang kerja otak Anggasta terlalu tertutup, mungkin lapisan luarnya terdiri dari beton.
Sudut pandang ketiga pun tidak mampu menerka apa yang dia rencanakan, apa yang dia rasakan, dan apa yang ia pikirkan.
Tidak seperti Akshaya, pikiran Akshaya memang kompleks namun lebih mudah untuk disimpulkan dan lebih terbuka. Ya, sepertinya lapisan luar ruang kerja otaknya hanya terdiri dari benang-benang tipis.

Semesta mempertemukan Akshaya dan Anggasta,
Kira-kira lebih baik dibahas dari sudut pandang siapa?
Anggasta? Akshaya?
Ya, kalian benar. Akshaya.
Benang-benang tipisnya lebih mudah dilalui daripada harus menghancurkan betonnya Anggasta.
Mari gunakan imajinasi dan perspektif, gunakan menurut versi kalian.


Akshaya kaku, irama degup jantungnya tidak beraturan. Iya, karena Anggasta.
Di jalan tak datar itu ia memperlambat langkahnya dan melihat lekuk bibir Anggasta naik, mungkin hanya sedikit.
Anggasta memulai percakapan, seperti yang kita tahu Anggasta terlalu sulit untuk diterka.
Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, embun masih belum menghilang, sang legendari yang menjulang tinggi pun tidak beranjak kemanapun, menjadi bumbu, entah manis atau pahit, untuk kisah singkat Anggasta dan Akshaya.
Mereka duduk diatas bambu yang entah-oleh-siapa dijadikan suatu benda yang memiliki nilai tambah.

Anggasta berkata bahwa Akshaya telah menyerah untuk lari dan akhirnya kembali, tawa ringan pun hadir seketika. Anggasta masih sulit untuk diterka.
Akshaya, seperti biasa, memandang langit dan segala isi bumi yang dapat dijangkau oleh matanya.
"Itu awan atau kabut?" tanyanya pada Anggasta
Pertanyaan sederhana yang memunculkan berbagai jawaban. Ya, itulah Akshaya segala hal dijadikannya topik pembicaraan, walaupun hanya hal-hal sederhana.
"Itu awan, yang menabrak objek" jawab singkat Anggasta.
Mereka pun mengeluarkan argumennya masing-masing, apakah itu awan atau kabut.
"Mari cari tahu jawabannya, baik masing-masing ataupun bersama" ucap Anggasta.
Lagi, Akshaya menciptakan topik pembicaraan yang sangat tidak penting,
"Itu pohon apa?"
Dan kembali, mereka dengan argumennya masing-masing.
"Itu pohon cemara tapi beda spesies" dan berakhir pada "Oh ya! Itu pohon pinus" kali ini, dua jawaban itu dari Akshaya.
"Kenapa motor disini berisik semua?" salah, ini bukan pertanyaan Akshaya, kali ini Anggasta yang bertanya.
"Kan disini sunyi, jadi mereka membuat motornya berisik untuk menciptakan kebisingan" seperti biasa, Akshaya yang sangat mudah untuk ditebak menjawab seperti itu. Logikanya berkata seperti itu.
Kali ini Akshaya salah, logikanya bukan jawaban dari pertanyaan Anggasta, akhirnya Anggasta yang menjawab pertanyaan dari dirinya sendiri.
"Motor disini knalpotnya diganti untuk naikin ccnya karena jalan disini ngga datar" Deg! Itu Anggasta, Ya, Anggasta-nya Akshaya untuk saat itu.

Lalu mereka mengukur jari-jari tangan mereka.
Konon, jika jari manis lebih tinggi dari jari telunjuk maka orang tersebut tidak dapat bertahan lama pada pilihannya. Ya, bahasa mudahnya plin plan.
Akshaya mengukur jarinya, dan ya benar. Dia plin plan.
Anggasta? Seperti biasa, betonnya masih belum rapuh jadi cukup sulit untuk diterka. Mari beranggapan bahwa Anggastapun sama seperti Akshaya.

Mereka juga membahas tentang melinjo, daun melinjo, sayur asam, dan berakhir pada mandi malam yang menyebabkan penyakit.
Iya, memang tidak relevan.

Ketika kalian bertemu dan berbincang dengan Akshaya, kalian akan merasa seperti bicara pada langit.
Bukan, bukan langit yang kosong.
Langit yang tiada batas.
Itulah Akshaya. Paling tidak bagi Anggasta, itulah dirinya.


Akshaya memohon waktu untuk berhenti sesaat, hanya untuk menikmati obrolan ringan dengan Anggasta, dengan tempat dan situasi yang tidak pernah dia mimpikan sebelumnya.
Ya, semesta punya caranya sendiri. Potret wajah Anggasta dengan latar sang legendaris yang menjulang tinggi, sejuk, dan hijau itu pun sudah disimpan baik di memori jangka panjangnya Akshaya.
Beruntunglah ia memiliki lapisan yang hanya tediri dari benang-benang tipis, segala yang terjadi saat itu seketika langsung ia simpan di memori jangka panjangnya.

"Yey kalah" ucap Akshaya saat mata Anggasta beralih ke objek lain.
Lalu mereka tertawa, dan sisi lain Anggasta muncul kembali.
Sebelumnya, Anggasta beranggapan bahwa mata itu bukan Akshaya bukan miliknya.
Ya, memang secara harfiah mata Akshaya adalah milknya sendiri, namun yang dimaksud Anggasta disini adalah mata itu untuknya, menatap balik ke arahnya, saling bertemu berbagi cerita tak terucap.

Pagi itu adalah satu-satunya bagi Akshaya, tidak ada pagi-pagi sebelumnya yang seperti itu atau bahkan pagi-pagi lain yang akan sama seperti itu. Tidak ada.
Pagi itu sangat indah bagi Akshaya, segala halnya. Mungkin juga bagi Anggasta. Tidak tahu, ya seperti yang kita tahu bahwa Anggasta sulit diterka.
Baiklah, semesta sudah terlalu baik kepada mereka berdua, Sudah waktunya kembali dari dunia nyata yang seperti khayalan ke dunia yang memang sangat nyata.

Sebagai penutup, seperti biasa, Akshaya akan melakukan apa yang ia sukai, ya itulah Akshaya.
Mereka masih berbincang ringan sambil menuruni jalan.
"Itu kota apa?" tanya Akshaya lagi
"Mungkin negeri di atas awan" tutup Anggasta
Akshaya mendaratkan cubitan kesukaannya di pipi Anggasta lalu segera berbalik dan berlari kecil meninggalkan Anggasta di belakang.
"Akshaya" panggil Anggasta, ia pun menoleh, saling tersenyum simpul dan kembali terpisahkan.


Akshaya menyudahinya, membiarkan Anggasta kembali ke Tavisha. Namun Akshaya menyimpannya dengan baik, memori jangka panjangnya sangat baik jadi ia masih bisa reka ulang pagi indahnya terus menerus, mungkin sebagai penghantar tidur sampai ia lupa bagaimana bentuk mata Anggasta, sampai Anggasta perlahan memudar dan perlahan memori jangka panjangnya Akshaya menghapus memori pagi terindahnya Akshaya.

Anggasta mungkin merasa cukup untuk apa yang telah semesta berikan, dan mungkin akan segera lupa saat ia bangun dari tidurnya, menganggap itu semua hanya bunga tidurnya. Anggasta mungkin akan mencoba pagi itu, bersama Tavisha, Tidak, Anggasta tidak menjadikan reka  ulang pagi itu sebagai penghantar tidurnya seperti yang Akshaya lakukan. Mungkin juga reka ulang itu tdak masuk ke memori jangka panjangnya Anggasta.

Tak apa, Akshaya tidak serakah, Pagi itu lebih cukup untuknya.
Tidak, Akshaya tidak meminta waktu untuk terulang karena itu hal yang sangat tidak mungkin.
Akshaya hanya akan tetap menjaga reka ulang pagi itu dan memutarnya setiap malam saat ia hendak tidur.
Tidak, mata Akshaya akan mencari objek lain daripada menjadikan mata Anggasta objek untuknya. Ia takut tidak bisa mengalihkannya ke objek lain, biarkan mata itu menjadi objek Tavisha

Ya, Akshaya mulai lagi semua dari awal. Membangun tembok pertahanannya, bahkan menyiapkan lapisan tebalnya.
Akshaya takut kalau tidak seperti itu, ia akan serakah dan meminta pagi pagi lain Anggasta.
Saat rindu pun, reka ulang pagi itu cukup untuk Akshaya, jangan bertemu. Kalau Akshaya bertemu Anggasta, nanti ia serakah dan menjadikan mata Anggasta objek satu-satunya untuk sesaat dan tidak ingin dikalahkan Anggasta.

"Terima kasih semesta, terima kasih Anggasta. Jaga Tavisha ya." ucapnya sebelum reka ulang pagi indahnya dimulai


...akan dilanjutkan jika semesta mengizinkan

Ananda Zahira Syanindita
10/9/16

No comments:

Post a Comment